Rok Mini Dibela, Kalau Korupsi Pakai Cadar
السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
MELIHAT Indonesia yang cantik ini,
saya teringat dengan film garapan aktor yang juga sutradara kawakan, Deddy
Mizwar berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini”.
Potret Indonesia,
sebagaimana film komedi itu yang berhasil lolos dalam seleksi awal di kategori
Film Berbahasa Asing Terbaik dalam ajang Academy Awards 2011 lalu.
“Alangkah Lucunya Negeri Ini” merupakan film drama komedi satire
tentang negeri bernama Indonesia.
Deddy yang dikenal berhasil
menggarap film-film bernuansa religitu itu berusaha mengangkat kisah-kisah yang
mewarnai kehidupan negerinya dengan apa adanya. Rasanya pas banget dengan
gambaran negeri ini saat ini. Betapa tidak, ketika Negara tak menemukan solusi
ampuh melawan korupsi, KKN dan berbagai tindak kejahatan –termasuk kejahatan
perbankan-- yang tak pernah ada habis-habisnya, namun secara munafik, semua
menolak pendekatan syariah sebagai solusi menyelesaikan masalah.
Perilaku munafik dan tebang pilih
(mau enak sendiri), sebenarnya mudah dilihat dan dirasakan. Yang pertama adalah
ketika semua orang menolak konsep syariah, tapi berbagai kalangan menerima
syariah masuk dunia perbankan. Perbankan syariah diterima, karena sudah jelas,
konsep-konsep perbankan berlandaskan Islam ini pasti akan menguntungkan siapa
saja. Tak peduli orang China, orang Hindu bahkan orang tak beragama sekalipun. Andai
syetan dan jin boleh menjadi pengguna jasa perbankan, mereka pun mungkin akan
juga ikut menjadi nasabah Bank Islam. Sebab, pasti tanpa riba dan uangnya tak
akan digondol mafia seperti kasus-kasus besar di dunia perbankan.
Perilaku lucu kedua, adalah ketika
para pembenci-pembenci syariah itu membela mati-matian rok mini, hanya setelah
seorang Gubernur DKI, Fauzi Bowo menyarankan para perempuan berpakaian sopan
dan tak menggunakan rok mini.
Dengan bantuan media, nasehat yang
sebenarnya baik untuk kalangan perempuan ini kemudian dipelintir seolah-olah
sang Gubernur “menyalahkan” pengguna rok mini nya.yang menyalahkan penggunaan
rok mini-nya. Sungguh aneh, negeriku ini!
Lebih aneh lagi, ketika wanita
diminta lebih sopan agar hargadiri dan kehormatannya lebih terjaga, mereka
justru menyalahkan agama dan otak orang. “My rok is my right” dan “Don't
tell us how to dress. Tell them not to rape”. "Jangan salahkan
rok mini kami. Salahkan otaknya," begitu kata mereka. Lho, lha
kok enak? Mereka mengaku punya hak, sementara kami dan semua masyarakat
diangggap patung? Saya menyarankan, jika kita (pembaca media ini) menemukan
kasus-kasus kekerdilan berfikir para aktivis perempuan seperti ini, maka Anda
jangan diam. Jawablah; “Hak mata kami juga untuk tidak melihat kevulgaran dan
hak kami menjaga anak-anak kami dari kerusakan.”. “Wahai aktivis perempuan yang
bangga membela rok mini, Anda punya hak telanjang di jalan (jika memang kalian
tidak malu untu itu), tapi mata kami juga punya hak untuk tak melihat Anda.
Maka, jauhkanlah kalian dari pemandangan kami!”
Lucunya, ketika kaum perempuan
terlibat kasus-kasus besar (misalnya korupsi, red) yang sedang melilitnya.
Secara tiba-tiba alias “mendadak-dangdut”, mereka ramai-ramai menutup aurat
–bahkan langsung bercadar—hanya untuk menutupi wajahnya dari jepretan kamera.
Kasus ini bisa dilihat dari
perilaku orang-orang yang terjerat kasus korupsi seperti Yulianis, Rosa dan
Melinda Dee yang tiba-tiba "sangat alim". Mereka adang yang
mengenakan cadar dan jilbab menjuntai atau sekedar berkerudung ala kadarnya.
Saya berkhusnudzon, mudah-mudahan, mereka menggunakan itu selamanya,
bukan hanya karena malu wajahnya dilihat jutaan orang di TV atau koran.
Gereja Katolik di Prancis meminta
pemerintah menghapus bab teori gender dari kurikulum pelajaran biologi sekolah
menengah atas. Pasalnya, bab tersebut dinilai mendukung kaum gay, yang
jelas-jelas dilarang dalam ajaran Katolik. Gereja memandang kurikulum berpaham
gender dinilai sangat berisiko karena dianggap bisa mencerai-beraikan keluarga
serta bisa mendorong para remaja menjadi homoseksual.
"Isu ini sangat serius karena
bab ini mencoba melawan kodrat dan ciptaan Tuhan. Manusia dapat menganggap diri
mereka sebagai pencipta, dapat memilih seksualitas mereka sendiri, dan memilih
gaya hidup berdasar pilihan personal," kata uskup Bernard Ginoux dari
Montauban.
Gereja juga memandang teori ini
sebagai pergeseran paradigma yang mempertanyakan perbedaan seksual yang
merupakan hal intrinsik dalam ilmu budaya, bahkan Vatikan menyebut teori ini
berbahaya. Sungguh aneh rasanya, di negeri asalnya saja ditolak, kok kita sibuk
membanggakannya. Tapi itulah kelucuan Negeriku yang tak pernah ada
habis-habisnya!
Sumber: Hidayatullah.com