Senin, 09 Juli 2012

hindari BAHAYA


Bahaya Mendengarkan Musik

GENERASI muda penggemar music dewasa ini acap disebut “generasi Mp3”. Teknologi kompresi music digital serta pengembangan peranti music mobile kini memungkinkan penggemar music mendengarkan lagu-lagu favoritnya di mana saja. Berkas music digital berukuran kecil dapat didengar melalui peranti music digital berukuran lebih kecil dari telapak tangan.
             
Adapun music didengar memanfaatkan aksesori berupa earphones atau headphones. Oleh karena itu, di tempat-tempat keramaian anak muda, dengan mudah ditemui mereka sedang mengangguk-anggukkan kepala menikmati dentuman music dari peranti digitalnya. Sungguh menyenangkan.
             
Namun, barangkali yang tidak banyak diketahui adalah bahaya mendengarkan music terlalu keras melalui earphones. Journal of the American Medical Assocation melaporkan dua tahun silam bahwa satu dari lima remaja di AS, atau sekitar 6,5 juta orang, menderita kehilangan pendengaran tertentu. Jumlah tersebut 30 persen lebih tinggi dibandingkan angka tahun 1980-an dan 1990-an.
            
Seperti dilaporkan CBS, para ahli sebenarnya berharap kampanye tentang bahaya mendengarkan music terlalu keras dapat menurunkan angka gangguan kehilangan pendengaran. Namun, studi yang dilakukan terhadap 3.000 anak usia 12-19 tahun tersebut menyatakan sebaliknya.
             
Lebih lanjut disebutkan, tidak dapat dipastikan apakah mendengarkan music menggunakan headphones jenis “earbuds/head seat” (yang dimasukkan ke dalam telingga) yang menjadi penyebab. Yang jelas, menurut seorang peneliti, remaja sekarang mendengarkan music dua kali lebih lama dibandingkan pendahulunya, dan dengan volume suara yang lebih keras.
            
Agar terhindar dari gangguan kehilangan pendengaran, atau sekurangnya mengurangi risiko yang tidak diinginkan, beberapa hal berikut ini patut diperhatikan.  

Jangan terlalu lama mendengarkan music dengan earphones. lebih baik mendengarkan music menggunakan perangkat stereo dan loudspeaker.
             
Hindari memutar music dengan volume terlalu keras. Menggunakan earphones di tempat ramai, misalnya saat menunggu bus di pinggir jalan atau sambil bermotor di tengah lalu lintas yang macet, cenderung mendorong pengguna mengeraskan volume music untuk mengimbangi keriuhan suasana sekitar.

Kamis, 03 Mei 2012

Rok Mini Dibela

Rok Mini Dibela, Kalau Korupsi Pakai Cadar
Top of Form
 


Bottom of Form

 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
MELIHAT Indonesia yang cantik ini, saya teringat dengan film garapan aktor yang juga sutradara kawakan, Deddy Mizwar berjudul “Alangkah Lucunya Negeri Ini”.

            Potret Indonesia, sebagaimana film komedi itu yang berhasil lolos dalam seleksi awal di kategori Film Berbahasa Asing Terbaik dalam ajang Academy Awards 2011 lalu.

“Alangkah Lucunya Negeri Ini” merupakan film drama komedi satire tentang negeri bernama Indonesia.
Deddy yang dikenal berhasil menggarap film-film bernuansa religitu itu berusaha mengangkat kisah-kisah yang mewarnai kehidupan negerinya dengan apa adanya. Rasanya pas banget dengan gambaran negeri ini saat ini. Betapa tidak, ketika Negara tak menemukan solusi ampuh melawan korupsi, KKN dan berbagai tindak kejahatan –termasuk kejahatan perbankan-- yang tak pernah ada habis-habisnya, namun secara munafik, semua menolak pendekatan syariah sebagai solusi menyelesaikan masalah.

Perilaku munafik dan tebang pilih (mau enak sendiri), sebenarnya mudah dilihat dan dirasakan. Yang pertama adalah ketika semua orang menolak konsep syariah, tapi berbagai kalangan menerima syariah masuk dunia perbankan. Perbankan syariah diterima, karena sudah jelas, konsep-konsep perbankan berlandaskan Islam ini pasti akan menguntungkan siapa saja. Tak peduli orang China, orang Hindu bahkan orang tak beragama sekalipun. Andai syetan dan jin boleh menjadi pengguna jasa perbankan, mereka pun mungkin akan juga ikut menjadi nasabah Bank Islam. Sebab, pasti tanpa riba dan uangnya tak akan digondol mafia seperti kasus-kasus besar di dunia perbankan. 

Perilaku lucu kedua, adalah ketika para pembenci-pembenci syariah itu membela mati-matian rok mini, hanya setelah seorang Gubernur DKI, Fauzi Bowo menyarankan para perempuan berpakaian sopan dan tak menggunakan rok mini.

Dengan bantuan media, nasehat yang sebenarnya baik untuk kalangan perempuan ini kemudian dipelintir seolah-olah sang Gubernur “menyalahkan” pengguna rok mini nya.yang menyalahkan penggunaan rok mini-nya. Sungguh aneh, negeriku ini!

Lebih aneh lagi, ketika wanita diminta lebih sopan agar hargadiri dan kehormatannya lebih terjaga, mereka justru menyalahkan agama dan otak orang. “My rok is my right” dan “Don't tell us how to dress. Tell them not to rape”.  "Jangan salahkan rok mini kami. Salahkan otaknya," begitu kata mereka. Lho, lha kok enak? Mereka mengaku punya hak, sementara kami dan semua masyarakat diangggap patung? Saya menyarankan, jika kita (pembaca media ini) menemukan kasus-kasus kekerdilan berfikir para aktivis perempuan seperti ini, maka Anda jangan diam. Jawablah; “Hak mata kami juga untuk tidak melihat kevulgaran dan hak kami menjaga anak-anak kami dari kerusakan.”. “Wahai aktivis perempuan yang bangga membela rok mini, Anda punya hak telanjang di jalan (jika memang kalian tidak malu untu itu), tapi mata kami juga punya hak untuk tak melihat Anda. Maka, jauhkanlah kalian dari pemandangan kami!”

Lucunya, ketika kaum perempuan terlibat kasus-kasus besar (misalnya korupsi, red) yang sedang melilitnya. Secara tiba-tiba alias “mendadak-dangdut”, mereka ramai-ramai menutup aurat –bahkan langsung bercadar—hanya untuk menutupi wajahnya dari jepretan kamera.

Kasus ini bisa dilihat dari perilaku orang-orang yang terjerat kasus korupsi seperti Yulianis, Rosa dan Melinda Dee yang tiba-tiba "sangat alim". Mereka adang yang mengenakan cadar dan jilbab menjuntai atau sekedar berkerudung ala kadarnya. Saya berkhusnudzon,  mudah-mudahan, mereka menggunakan itu selamanya, bukan hanya karena malu wajahnya dilihat jutaan orang di TV atau koran.

Lebih lucu lagi, ketika para aktivis perempuan sedang berbangga kampanye hingga paham gender dan sibuk menyusun dan menjadikan feminisme/gender sebagai “mantera” dan kurikulum, lha kok di negara asalnya sendiri –di mana paham ini pertama kali lahir—kini justru sedang beramai-ramai memusuhi paham ini. Hatta, itu gereja-gereja Katolik di Prancis dan Vatikan. ("Gereja Prancis Waspadai Teori Gender, Indonesia Malah Bangga", hidayatullah.com, Kamis, 29 September 2011)

Gereja Katolik di Prancis meminta pemerintah menghapus bab teori gender dari kurikulum pelajaran biologi sekolah menengah atas. Pasalnya, bab tersebut dinilai mendukung kaum gay, yang jelas-jelas dilarang dalam ajaran Katolik. Gereja memandang kurikulum berpaham gender dinilai sangat berisiko karena dianggap bisa mencerai-beraikan keluarga serta bisa mendorong para remaja menjadi homoseksual.

"Isu ini sangat serius karena bab ini mencoba melawan kodrat dan ciptaan Tuhan. Manusia dapat menganggap diri mereka sebagai pencipta, dapat memilih seksualitas mereka sendiri, dan memilih gaya hidup berdasar pilihan personal," kata uskup Bernard Ginoux dari Montauban.

Gereja juga memandang teori ini sebagai pergeseran paradigma yang mempertanyakan perbedaan seksual yang merupakan hal intrinsik dalam ilmu budaya, bahkan Vatikan menyebut teori ini berbahaya. Sungguh aneh rasanya, di negeri asalnya saja ditolak, kok kita sibuk membanggakannya.  Tapi itulah kelucuan Negeriku yang tak pernah ada habis-habisnya!

Sumber: Hidayatullah.com